Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan larangan bagi Warga Negara Indonesia (WNI) untuk bekerja di Kamboja, Thailand, dan Myanmar. Langkah tegas ini diambil sebagai upaya pencegahan dan perlindungan terhadap risiko tindak pidana perdagangan orang (TPPO) yang kian meningkat di ketiga negara tersebut.
Menteri Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (P2MI), Abdul Kadir Karding, menekankan bahwa absennya kerja sama resmi penempatan tenaga kerja dengan ketiga negara tersebut menjadikan setiap WNI yang bekerja di sana ilegal dan sangat rentan terhadap eksploitasi dan perdagangan manusia. Situasi ini menjadi perhatian serius pemerintah.
Lonjakan kasus penipuan berkedok pekerjaan di Kamboja dan Myanmar, khususnya di wilayah Myawaddy, menjadi pemicu utama larangan ini. Banyak WNI terjerat bujuk rayu iming-iming gaji tinggi, namun malah terperangkap dalam jaringan kriminal, termasuk kejahatan siber dan perjudian online ilegal yang terorganisir.
Ancaman TPPO dan Kejahatan Siber Transnasional
Pada Maret 2025, pemerintah berhasil memulangkan 554 WNI korban TPPO dari Myanmar melalui proses evakuasi via Thailand. Keberhasilan ini menunjukkan komitmen pemerintah dalam melindungi pekerja migran. Namun, angka ini hanyalah sebagian kecil dari jumlah sebenarnya, yang menunjukkan betapa luasnya permasalahan TPPO ini.
Pemerintah mengimbau masyarakat untuk waspada terhadap tawaran kerja yang tidak resmi. Hanya cari pekerjaan di negara yang memiliki perjanjian kerja sama resmi dengan Indonesia dan ikuti prosedur yang telah ditetapkan. Pengawasan terhadap agen penyalur tenaga kerja akan diperketat untuk mencegah praktik ilegal.
Sosialisasi mengenai modus-modus penipuan TPPO akan terus digencarkan. Masyarakat perlu memahami ciri-ciri penipuan dan melaporkan setiap kecurigaan kepada pihak berwenang. Peningkatan literasi digital juga penting untuk melindungi diri dari penipuan online.
Situasi di Myanmar dan Shwe Kokko
Konflik bersenjata dan ketidakstabilan politik di Myanmar semakin memperparah situasi. Serangan helikopter militer terhadap kelompok pemberontak di Myawaddy baru-baru ini hanyalah satu contoh dari kekerasan yang terjadi. Namun, ancaman yang lebih besar justru datang dari kejahatan siber transnasional yang berkembang pesat di wilayah perbatasan.
Kota perbatasan Myawaddy, khususnya Shwe Kokko, menjadi pusat aktivitas kriminal yang terorganisir. Awalnya dibangun sebagai pusat digital oleh investor Tiongkok, kota ini kini menjadi sarang perjudian ilegal dan penipuan siber skala besar, menghasilkan miliaran dolar setiap tahunnya menurut laporan PBB.
Shwe Kokko beroperasi di bawah pengawasan ketat dan terisolasi. Di balik pagar tinggi dan keamanan yang ketat, para pelaku kejahatan siber menjalankan berbagai skema penipuan, termasuk investasi kripto palsu. Seorang mantan pekerja mengungkapkan bahwa banyak perusahaan penipuan beroperasi di sana, menargetkan korban hingga ratusan ribu dolar AS per bulan.
Dampak Global Kejahatan Siber
Interpol memperkirakan kejahatan siber di Asia Tenggara menghasilkan triliunan dolar AS setiap tahunnya. Angka ini menunjukkan skala masalah yang sangat besar dan berdampak global. Perkembangan teknologi kecerdasan buatan (AI), termasuk malware, AI generatif, dan deepfake, semakin mempermudah para pelaku kejahatan menjalankan aksinya.
Jika konflik bersenjata di Myanmar berlanjut dan kelompok bersenjata menguasai negara, Myanmar berisiko menjadi negara gagal. Kejahatan siber yang sudah menjadi masalah besar, akan semakin sulit diatasi. Situasi ini tidak hanya mengancam stabilitas Myanmar, tetapi juga keamanan global.
Pemerintah Indonesia perlu meningkatkan kerjasama internasional untuk mengatasi masalah TPPO dan kejahatan siber transnasional. Hal ini membutuhkan strategi yang komprehensif, meliputi penegakan hukum yang efektif, perlindungan korban, dan pencegahan yang melibatkan kerjasama antar negara dan lembaga internasional.