Penanganan demonstrasi penolakan Undang-Undang (UU) TNI di berbagai kota oleh aparat keamanan menuai kecaman luas. Tindakan kekerasan yang berlebihan mengakibatkan banyak peserta aksi dan relawan medis mengalami luka-luka. Laporan dari berbagai lembaga menunjukkan pola kekerasan sistematis yang perlu diselidiki secara tuntas.
Di Jakarta, aksi damai “Suara Ibu Indonesia” (SII) pada 28 Maret 2025 menyuarakan keprihatinan atas tindakan represif tersebut. Akademisi, penulis, dan buruh yang tergabung dalam SII mengenakan pakaian putih dan membawa poster, menuntut penghentian kekerasan terhadap mahasiswa dan pembatalan revisi UU TNI.
Salah satu orator, Ririn Sefsani, mengkritik keterlibatan organisasi massa dalam menghalangi demonstrasi. Ia menekankan bahwa aparat, yang digaji dari pajak masyarakat, seharusnya menjalankan tugas dengan bertanggung jawab dan tidak represif terhadap warga negara.
Unjuk Rasa dan Kekerasan di Berbagai Kota
Kekerasan aparat tidak hanya terpusat di Jakarta. Di Malang, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pos Malang mencatat pola kekerasan sistematis yang sama, termasuk intimidasi terhadap demonstran. Aksi pada 23 Maret 2025 di Malang mengakibatkan sejumlah peserta demo, petugas medis, dan jurnalis mengalami cedera. Laporan bahkan menyebutkan adanya keterlibatan anggota TNI dalam kekerasan, dengan tuduhan intimidasi, pelecehan seksual verbal, dan ancaman pembunuhan terhadap petugas medis.
LBH Pos Malang melaporkan seorang mahasiswa mengalami luka serius, tulang rahang patah dan gigi rontok. Enam orang sempat ditahan, namun telah dibebaskan. LBH Surabaya juga melaporkan pembebasan 25 orang yang ditangkap pada 25 Maret 2025. Kasus-kasus ini menunjukkan ketidakadilan dan pelanggaran HAM yang serius.
Pola Kekerasan dan Pelanggaran Prosedur
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mengidentifikasi beberapa pola kekerasan aparat, di antaranya penggunaan aparat tidak berseragam, kekerasan terhadap petugas medis yang melanggar SOP, keterlibatan Brimob dalam tindakan represif, dan penghalangan pendampingan hukum bagi korban.
Muhammad Isnur dari YLBHI menjelaskan bahwa aparat yang tidak berseragam bertindak bebas dalam melakukan penangkapan dan penganiayaan. Kekerasan terhadap petugas medis, menurutnya, merupakan pelanggaran serius terhadap Standar Operasional Prosedur (SOP). Brimob, menurut laporan, aktif mengejar-kejar peserta aksi dengan sepeda motor. Pengacara juga dihalangi untuk bertemu dengan korban di beberapa wilayah.
Kesaksian Korban dan Tanggapan Pihak Berwenang
Azuri (24), mahasiswa di Malang, menceritakan pengalamannya dipukul hingga harus dijahit tiga jahitan di kepala. Ia dikepung oleh orang berpakaian preman setelah aksi protes memanas. Setelah itu, ia diborgol, mengalami intimidasi, dan KTP serta SIM-nya disita. Pihak kepolisian menolak membawanya ke rumah sakit dan menuduhnya melakukan kekerasan. Setelah didampingi LBH Pos Malang, ia akhirnya dibebaskan.
Kepala Pusat Penerangan TNI, Brigjen Kristomei Sianturi, menyampaikan permohonan maaf jika ada prajurit TNI yang melakukan kekerasan. Ia meminta pihak yang memiliki bukti untuk melapor ke polisi militer. Namun, hingga Jumat malam 28 Maret 2025, pihak kepolisian belum memberikan tanggapan resmi terkait dugaan kekerasan tersebut.
Analisis dan Rekomendasi
Peristiwa ini menunjukkan adanya krisis kepercayaan publik terhadap penegakan hukum. Tindakan kekerasan aparat yang berlebihan dan sistematis merupakan pelanggaran HAM yang berat. Pemerintah perlu melakukan investigasi yang independen dan transparan untuk mengungkap pelaku dan motif di balik kekerasan tersebut. Pelaku kekerasan harus diproses hukum tanpa pandang bulu, agar kejadian serupa tidak terulang di masa mendatang.
Selain itu, penting untuk meninjau ulang prosedur penanganan demonstrasi agar lebih mengedepankan pendekatan persuasif dan menghormati hak asasi manusia. Pelatihan dan edukasi bagi aparat keamanan mengenai penggunaan kekuatan yang proporsional dan penghormatan terhadap HAM juga sangat diperlukan. Transparansi dan akuntabilitas dalam penegakan hukum harus menjadi prioritas utama.
Kejadian ini juga menyoroti pentingnya perlindungan bagi jurnalis dan petugas medis yang bekerja dalam situasi demonstrasi. Mereka harus dijamin keselamatan dan kebebasan kerjanya agar dapat menjalankan tugas profesional mereka tanpa rasa takut.
Ke depan, diperlukan dialog yang lebih intensif antara pemerintah, aparat keamanan, dan elemen masyarakat sipil untuk membangun mekanisme penyelesaian konflik yang damai dan demokratis. Hal ini penting untuk menjaga stabilitas keamanan dan menghormati hak-hak demokrasi warga negara.