Gempa bumi dahsyat berkekuatan magnitudo 7,7 mengguncang Myanmar pada Jumat, 28 Maret 2025. Bencana ini menimbulkan kerusakan yang meluas dan mengakibatkan korban jiwa yang terus meningkat. Namun, informasi mengenai dampak sebenarnya di Myanmar sangat terbatas, berbanding terbalik dengan liputan luas dari negara tetangga, Thailand.
Media sosial dibanjiri video dan gambar yang menunjukkan dampak gempa di Thailand. Sebaliknya, informasi dari Myanmar sangat sulit didapat. Hal ini mencerminkan kebijakan pemerintah Myanmar yang selama ini membatasi akses internet dan kebebasan pers.
Pembatasan informasi ini semakin memperburuk situasi darurat. Upaya pencarian dan penyelamatan korban terhambat, dan koordinasi bantuan kemanusiaan menjadi sangat sulit. Ketidakmampuan untuk mendapatkan informasi yang akurat dan tepat waktu dapat berakibat fatal bagi banyak korban yang terjebak di bawah reruntuhan.
Pembatasan Internet: Senjata untuk Membungkam dan Menghambat Bantuan
Sejak kudeta militer tahun 2021, junta militer Myanmar telah mengendalikan jaringan telekomunikasi nasional. Mereka memiliki kemampuan untuk mematikan akses internet di wilayah tertentu dan menciptakan pemadaman komunikasi secara sengaja. Praktik ini, yang dilaporkan oleh organisasi hak digital Access Now, bukanlah hal baru.
Pembatasan internet telah menjadi alat untuk membungkam perbedaan pendapat dan memperkuat kekuasaan junta. Namun, dalam situasi bencana seperti gempa bumi, dampaknya jauh lebih tragis. Akses informasi yang sangat dibutuhkan untuk menyelamatkan nyawa menjadi terhambat.
Joe Freeman, peneliti Myanmar di Amnesty International, menyoroti perbedaan mencolok antara liputan gempa di Thailand dan Myanmar. Di Thailand, informasi kerusakan dan dampak gempa tersebar luas, sementara di Myanmar, gambaran yang jelas masih sangat sulit diperoleh.
Bahkan situs web resmi pemerintah yang dikendalikan junta pun mengalami gangguan pasca gempa. Kombinasi pemadaman internet, listrik, dan kerusakan infrastruktur menciptakan “lubang hitam informasi” yang menghambat transparansi dan respons terhadap bencana.
Kesulitan Informasi di Wilayah Konflik: Tantangan Tambahan
Meskipun Myanmar telah mengalami peningkatan akses internet dalam beberapa tahun terakhir, distribusi konektivitasnya masih sangat tidak merata. Daerah-daerah yang berada di bawah kendali kelompok pemberontak atau yang sering mengalami pertempuran dengan militer seringkali mengalami gangguan internet yang lebih parah.
Banyak warga di daerah terdampak gempa mengandalkan layanan satelit seperti Starlink. Namun, akses ke layanan ini terbatas dan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan komunikasi skala besar dalam situasi darurat.
Dampak Lebih Luas dari Pembatasan Informasi
Dalam bencana besar, informasi yang cepat dan akurat sangat penting untuk mengoordinasikan upaya penyelamatan dan distribusi bantuan. Pembatasan internet di Myanmar menghambat komunikasi antara warga yang membutuhkan dan lembaga kemanusiaan yang ingin membantu.
Freeman menekankan bahwa dalam situasi darurat seperti gempa bumi, di mana listrik dan infrastruktur sudah rusak, pembatasan internet semakin membatasi informasi yang tersedia dan berpotensi mempengaruhi pengiriman bantuan.
Sebelum kudeta, Myanmar mengalami peningkatan pengguna internet dan media sosial. Facebook menjadi platform utama untuk berbagi informasi. Namun, sejak pengambilalihan militer, kebebasan digital semakin terkikis, dan Myanmar menjadi lebih tertutup dari dunia luar.
Situasi ini menyoroti pentingnya kebebasan informasi, khususnya dalam situasi darurat. Pembatasan akses informasi bukan hanya melanggar hak asasi manusia, tetapi juga dapat mengakibatkan kerugian jiwa dan memperparah dampak bencana. Komunitas internasional perlu mendesak pemerintah Myanmar untuk membuka akses internet dan mendukung upaya transparansi dalam penanggulangan bencana.
Rekomendasi untuk Kedepannya
Untuk mencegah tragedi serupa di masa depan, beberapa rekomendasi penting perlu dipertimbangkan:
- Meningkatkan investasi dalam infrastruktur telekomunikasi yang tangguh dan merata di seluruh Myanmar, termasuk di daerah konflik.
- Mendorong kerjasama internasional untuk menyediakan akses internet alternatif yang handal dalam situasi darurat.
- Membangun sistem peringatan dini yang efektif dan mudah diakses oleh seluruh masyarakat.
- Mendesak pemerintah Myanmar untuk menjamin kebebasan pers dan akses informasi yang tidak dibatasi.
- Memberikan pelatihan dan dukungan kepada organisasi kemanusiaan lokal untuk meningkatkan kapasitas respons bencana.
Krisis kemanusiaan di Myanmar setelah gempa ini menunjukkan betapa pentingnya akses informasi yang bebas dan terbuka, bukan hanya untuk transparansi, tetapi juga untuk menyelamatkan nyawa. Semoga tragedi ini menjadi pelajaran berharga untuk meningkatkan kesiapsiagaan dan respons terhadap bencana di masa mendatang, khususnya di negara-negara dengan pembatasan informasi yang ketat.